Selamat Datang

SELAMAT DATANG DI MY BLOG FREDY.NABABAN NPM:12411965 Salam Sejahtera

Jumat, 23 November 2012

Batubara dan Dampak yang ditimbulkan.



Batubara dan Dampak yang ditimbulkan.

Selama ini batubara di Kalimantan Selatan merupakan mahkota dimata Nasional maupun Internasional. Betapa tidak, hasil batubara bara yang diekspor keluar negeri sudah melampawi target yang ditentukan. Batubara juga sudah banyak menyerap investor investor asing yang sudah menanamkan modalnya diusaha pertambangan di Kalimantan Selatan ini.
Akan tetapi batubara juga sudah banyak menyumbang terjadinya kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana banjir dan tanah longsor. Walaupun mereka para pengusaha selalu mengatakan kami sangat memperhatikan lingkungan. Kami sudah melakukan reklamasi, reboisasi dan macam macamlah.
Namun kenyataannya tidak seperti itu, kejadian yang selama ini dirasakan Masyarakat adala bukti bahwa pertambangan sudah banyak merugikan Masyarakat daripada menguntungkan.
Namun kalau kita mau bicara untung rugi, maka sudah jelas Masyarakatlah yang paling dirugikan. Betapa tidak, debu yang ditimbulakan oleh aktivitas pertambangan sudah banyak menyebabkan munculnya penyakit gangguan pernapasan/ isfa.
Sedangkan Pemerintah, sepertinya tidak peduli dengan kenyataan yang sudah menimpa Masyarakatnya. Hanya demi PAD masyarakat harus dikalahkan, masyarakat harus menerima dampak burknya.
Ternyata dampak yang ditimbulkan oleh pertamabangan bukan hanya menurunnya kualitas kesehatan fisik akan tetapi juga berdampak pada kesehatan jiwa dan cara berpikir yang sehingga tidak ada lagi nurani.
Sudah jelas batubara sangat merugikan Masyarakat, mulai dari aktivitas dilokasi pertambangan, pengangkutan, sampai stockpile. Namun mungkin dengan alasan PAD Pemerintah jadi buta. Walaupun tercatat kecelakaan lalulintas yang diakibatkan oleh truk batubara selama ini sangat besar.
Lalu pertanyaannya adalah, sampai kapan kejadian ini terus berlangsung. Apakah sampai bumi Antasari ini berubah menjadi gurun, atau sampai Masyarakat mati. Tidak cukupkah bukti yang ada, sehingga Pemerintah masih mencari cari dan meraba raba bahwa tambang adalah penyumbang kerusakan lingkungan dan mental Masyarakat di Kalsel.
Teragis memang tapi inilah kenyataan yang harus kita hadapi, apakah kita harus diam sambil menunggu mereka para pemimpin dan wakil rakyat sadar. Dan membuka mata yang sudah ditutupi oleh uang dengan bahasa lainnya adalah PAD.


Sebuah kalimat yang pantas diucapkan dan dilakukan adalah, mari kita Masyarakat Kalsel bersama sama tolak tambang, dan semua bentuk kekerasan.



Sumber :

Inilah Dampak Buruk Tambang Emas di Pulau Buru.

Inilah Dampak Buruk Tambang Emas di Pulau Buru.

Kawasan Gunung Botak, Desa Wamsait, Kec. Waeapo, Kab. Buru memang telah menjadi areal tambang tradisional terbesar di Maluku, ribuan orang dari berbagai penjuru negeri berdatangan ke kawasan tersebut untuk mencari logam mulia yang saat ini berada di level Rp. 543.000,- per gramnya.

Aksi buka tutup areal tambang juga terus dilakukan oleh pemerintah setempat setelah timbulnya berbagai persoalan seperti bentrokan di kalangan penambang, prostitusi, miras dan lain sebagainya. Namun hal itu tidak juga menghentikan kegiatan tambang, justru malah menjadi-jadi karena pengelolaannya tergantung dari otoritas para pemilik lahan yang tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, yang terpenting adalah pundi-pundi uangnya terus terisi.
1344835475122183251
Teluk Kayeli (lingkaran besar), Desa Wamsait (lingkaran kecil)
Baru-baru ini persoalan lain muncul, yakni ditemukannya ikan yang mati bergelimpangan di Teluk Kayeli, Kab. Buru akibat perairan tersebut tercemar limbah air raksa yang diduga berasal dari proses penambangan emas di Sungai Waitina. Kejadian ini sudah berlangsung selama dua minggu, yang mengakibatkan masyarakat setempat enggan membeli ikan hasil tangkapan nelayan dari Teluk Kayeli.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan ikan segar di Namlea, Kab. Buru, masyarakat terpaksa membelinya dari Pulau Ambon dan menyimpannya dalam kotak pendingin yang kemudian diangkut ke Namlea. Hal itu, menyebabkan pendapatan para nelayan di Teluk Kayeli menurun drastis.
“Kami berharap pemerintah bisa mengambil langkah yang lebih tegas untuk mengisolasi areal penambangan di kawasan Gunung Botak, Wamsait maupun kawasan Sungai Anhony karena banyak drum penampungan air raksa di daerah itu yang sewaktu-waktu bisa tumpah akibat banjir seperti kasus beberapa waktu lalu,” harap masyarakat setempat bernama Ibrahim Wael, Sabtu (11/8).
Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah setempat untuk sesegera mungkin membuat peraturan daerah bersama-sama dengan pihak legislatif tentang pengelolaan tambang rakyat atau tradisional di wilayah itu dalam rangka menjamin kehidupan masyarakat termasuk lingkungan sekitarnya.

 

Selasa, 20 November 2012

Tulisan Ilmiah 3 Dampak pertambangan timah bagi masyarakat bangka belitung

Dampak pertambangan timah bagi masyarakat bangka belitung

-->
DAMPAK PENAMBANGAN TIMAH BAGI MASYARAKAT BANGKA BELITUNG
Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.
Istilah TI sebagai kepanjangan dari Tambang Inkonvensional sudah sangat dikenal di kalangan rakyat Kepulauan Bangka Belitung. Ini merupakan sebutan untuk penambangan timah dengan memanfaatkan peralatan mekanis sederhana, yang biasanya bermodalkan antara 10 juta sampai 15 juta rupiah. Untuk skala penambangan yang lebih kecil lagi, biasanya disebut Tambang Rakyat (TR). TI sebenarnya dimodali oleh rakyat dan dikerjakan oleh rakyat juga. Secara legal formal TI sebenarnya adalah kegiatan penambangan yang melanggar hukum karena memang umumnya tidak memiliki izin penambangan.

Pada awalnya TI "dipelihara" oleh PT. Tambang Timah ketika perusahaan itu masih melakukan kegiatan penambangan darat di Kepulauan Bangka Belitung. TI sebetulnya muncul karena dulu PT. Tambang Timah melihat daerah-daerah yang tidak ekonomis untuk dilakukan kegiatan pendulangan oleh PT. Tambang Timah sendiri. Oleh karena itulah, kepada pengelola TI diberikan peralatan pendulangan mekanis yang sederhana. Peralatan yang dibutuhkan memang tidak terlalu rumit, cukup dengan ekskavator, pompa penyemprot air, dan menyiapkan tempat pendulangan pasir timah. Metodenya pun sederhana, tanah yang diambil dengan ekskavator kemudian ditempatkan di tempat pendulangan, dan kemudian dibersihkan dengan air. Lapisan tanah yang benar-benar berupa tanah, dengan sendirinya akan hanyut terbawa air, dan tersisa biasanya adalah batu dan pasir timah.

Pada mulanya pengelola TI melakukan kegiatan di dalam areal kuasa penambangan (KP) PT. Tambang Timah dan kalau sudah habis mereka bisa pindah ke tempat lain yang ditentukan oleh PT. Tambang Timah. Akan tetapi, setelah masuk di era reformasi, dari tahun 1998 ke atas, masyarakat mulai mencari-cari lokasi di luar KP PT. Tambang Timah sehingga jumlah TI berkembang pesat menjadi ribuan. Mereka kini di luar kontrol karena menambang kebanyakan di luar KP PT. Tambang Timah.

Kegiatan pertambangan inkonvensional timah di Pulau Bangka dalam setahun terakhir makin memprihatinkan. Seiring dengan itu pembangunan smelter (pabrik pengolahan menjadi timah balok) juga mengalami peningkatan sangat tajam. Meruyaknya smelter menjadi ancaman besar terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan smelter-smelter baru tersebut kurang mempertimbangkan sisi lingkungan. Kerusakan akibat kegiatan penambangan ilegal dengan mudah ditemukan, seperti di kawasan Kecamatan Belinyu.
1. Lubang Tambang

Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air. Air lubang tambang mengandung berbagai logam berat yang dapat merembes ke sistem air tanah dan dapat mencemari air tanah sekitar. Potensi bahaya akibat rembesan ke dalam air tanah seringkali tidak terpantau akibat lemahnya sistem pemantauan perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut. Di pulau Bangka dan Belitung banyak di jumpai lubang-lubang bekas galian tambang timah (kolong) yang berisi air bersifat asam dan sangat berbahaya.
2. Air Asam Tambang

Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya. Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.
3. Tailing

Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh makhluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.
Akibat aktifitas liar ini, banyak program kehutanan dan pertanian tidak berjalan, karena tidak jelasnya alokasi atau penetapan wilayah TI. Aktivitas TI juga mengakibatkan pencemaran air permukaan dan perairan umum. Lahan menjadi tandus, kolong-kolong (lubang eks-tambang) tidak terawat, tidak adanya upaya reklamasi/ rehabilitasi pada lahan eks-tambang, terjadi abrasi pantai dan kerusakan cagar alam, yang untuk memulihkannya perlu waktu setidaknya 150 tahun secara suksesi alami.
Hutan menjadi korban, alam pun mengamuk!

Legalitas pemanfaatan lahan yang tidak berkelanjutan dan pengeksploitasian sumber daya alam yang berlebihan tanpa mengindahkan keseimbangan ekosistem merupakan salah satu pemicu kerusakan lingkungan di Bangka Belitung. Keadaan ini merupakan imbas dari krisis ekonomi berkepanjangan yang berakibat pada krisis sosial. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah yang kurang siap mengakibatkan eksploitasi sumberdaya yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, aktifitas yang tidak lepas dari urusan ekosistem alam inipun membuat imbas berupa kerusakan lingkungan tatanan ekosistem pulau Bangka khususnya daerah yang mengalami degradasi kualitas dan kuantitas lahan yang telah mencakup luas ke beberapa aspek ekosistem Bangka pada umumnya, yakni khususnya wilayah hutan di Bumi Serumpun Sebalai ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan TI di Pulau Bangka telah memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan TI. Aktivitas pertambangan yang dilakukan secara sporadis dan massal itu juga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang dahsyat. Sebagian besar penambang menggunakan peralatan besar sehingga dengan mudah mencabik-cabik permukaan tanah. Sisa pembuangan tanah dari TI menyebabkan pendangkalan sungai.

Kerusakan yang ditimbulkan TI tidak hanya terjadi di lokasi penambangan wilayah daratan. Seperti yang diinformasikan sebelumnya, bahwasanya kerusakan alam bahkan terjadi hingga ke pantai (masyarakat Bangka menyebutnya TI Apung), tempat bermuara sungai-sungai yang membawa air dan lumpur dari lokasi TI. Di kawasan pantai, hutan bakau di sejumlah lokasi rusak akibat limbah penambangan TI. Selain itu di wilayah pesisir pantai, beroperasi juga tambang rakyat menggunakan rakit, drum-drum bekas, mesin dongfeng dan pipa paralon, yang mengapung. Para buruh menyelam ke dasar laut, mengumpulkan sedikit demi sedikit timah.

Bekas-bekas penambangan TI umumnya dibiarkan saja sebagaimana adanya, tanpa adanya upaya mereklamasi. Dengan luasan wilayah penambangan antara dua sampai lima hektar, bolong-bolong pada permukaan tanah yang mereka gali merupakan pemandangan yang tampak mengenaskan. Penambangan timah inkonvensional di Kecamatan Belinyu kini masih terus berlangsung, termasuk di kawasan hutan lindung. Salah satunya adalah di kawasan hutan lindung Gunung Pelawan. Penambang secara sembunyi-sembunyi tetap menambang timah di kawasan terlarang tersebut. TI juga merusak daerah aliran sungai, kawasan sempadan pantai, hutan lindung, dan hutan produksi. Lubang-lubang bekas penambangan tandus karena tidak direklamasi.

Perusakan hutan karena tambang membuat banyak wilayah kekeringan hebat pada musim kemarau. Jika dilihat dari udara sebelum mendarat di Bandara Depati Amir, wajah bumi Bangka Belitung dipenuhi kawah dan lubang menganga. Lubang-lubang itu terisi air hujan dan menjadi tempat subur perkembangan nyamuk anofeles. Akibatnya, penularan penyakit malaria di Pulau Bangka cukup tinggi. 


http://www.google.co.id/imgres?hl=en&client=firefox-a&sa=G&rls=org.mozilla:en-US:official&biw=1024&bih=578&tbm=isch&tbnid=5PZD5FfImgBr2M:&imgrefurl=http:

Senin, 19 November 2012

Tulisan Ilmiah Dalam Pertambangan


Tambang Morowali | Berkah atau Petaka?

Kabupaten Morowali dikaruniai sumberdaya alam yang relatif melimpah karena mempunyai kandungan sumberdaya tambang yang tersebar di seluruh wilayah. Sumberdaya tambang tersebut bervariasi mulai dari bahan tambang golongan C sampai golongan B, maupun golongan A. Khusus untuk bahan tambang golongan C (Nickel) tersebar di beberapa kecamatan yaitu Petasia, Bungku Tengah, Bungku Barat, Bungku Selatan, Bahodopi, dan Soyo Jaya, dengan satuan formasi Tetambehu (Jtl).

Sebagai masyarakat yang mendiami Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali, khususnya yang ada di Kolonodale tentunya sangat bangga dengan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh tanah leluhurnya dan lebih bangga lagi dengan hadirnya para investor asing maupun lokal yang mulai mengeksplorasi bahkan telah mengeksploitasi areal dimana terdapat kandungan sumberdaya tambang tersebut. Dengan adanya perusahaan pertambangan tersebut, tentunya juga ada harapan-harapan baru bagi masyarakat tentang bagaimana wajah Kolonodale akan berubah dengan pembangunan diberbagai sektor sebagai timbal balik dimana hal itu merupakan tanggung jawab sosial bagi perusahaan yang mengolah kekayaan alam disuatu daerah.
Dengan hadirnya perusahaan tambang tersebut sangat besar harapan bahwa ini merupakan berkah yang akan menjadi bagian bagi masyarakat Kolonodale. Namun, kebanggaan – kebanggaan bahkan harapan – harapan bagi masyarakat Kolonodale sepertinya mulai hilang dengan melihat kenyataan yang terjadi saat ini. Mulai timbul pertanyaan, apakah ini awal petaka yang akan menjadi bagian bagi masyarakat Kolonodale?
Bagaimana tidak demikian? Kolonodale yang dulunya dikelilingi gunung dengan hutan lebatnya yang merupakan sumber air bagi masyarakat, saat ini mulai terkikis dan sebagian besar gunung-gunung tersebut “telanjang” dengan memperlihatkan tanah merahnya yang kaya dengan Nickel. Areal tambang diperlakukan mirip galian sirtu yang merupakan cara paling primitif dalam teknik penambangan. Permukaan tanah disingkap, bijih Nikel digali dan diangkut ke negara lain. Tak ada pembangunan pabrik Nikel, tak ada pengolahan menjadi Nikel. Hanya tanah batuan yang diangkut. Yang lebih memprihatinkan lagi, areal pertambangan ini sangat dekat dengan pemukiman penduduk.
Timbul pertanyaan….. apakah Perusahaan pertambangan tersebut telah melalui proses yang benar dalam mengkaji Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) ? AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL ini dibuat saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek Abiotik, Biotik, dan Kultural. Masyarakat setempat merupakan pihak – pihak yang terelibat dalam proses AMDAL, sehingga masyarakat pun dapat memberikan masukan bahkan akan diberikan penjelasan mengenai dampak yang mungkin akan terjadi ketika suatu proyek akan dilaksanakan. Apakah proses ini sudah berjalan demikian?
Areal pertambangan yang sedang beroperasi di Kolonodale saat ini berada pada Kawasan Resapan Air dan sangat dekat dengan Pemukiman Penduduk. Dampak yang mulai terasa akibat dari penambangan Nickel tersebut yaitu debu tanah merah yang setiap saat tertiup sampai ke pemukiman penduduk, dan juga sumber mata air yang mengalir ke Lokasi Wisata Permandian Jompi mulai berkurang, serta kebisingan yang ditimbulkan oleh alat-alat berat yang bekerja siang dan malam. Apakah kondisi seperti ini tidak menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Morowali bahkan para wakil – wakil rakyat ? Apakah kondisi seperti ini akan terus terjadi bahkan ada petaka yang lebih besar yang akan terjadi di Kota Kolonodale dan sekitarnya ?
Kabupaten Morowali adalah daerah yang sebagian besar wilayahnya memiliki curah hujan yang tinggi, struktur geologi yang dipengaruhi oleh dua sesar utama serta topografi dengan dominasi kemiringan curam maka wilayah ini memiliki pula kawasan-kawasan yang rawan bencana, khususnya bencana banjir, longsor maupun rawan gempa, dan sudah terbukti dengan kejadian beberapa waktu yang lalu, yaitu peristiwa tanah longsor di areal proyek perkebunan kelapa sawit di Dusun Bungini, Desa Bunta, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali.
Mudah-mudahan apa yang menjadi keprihatinan masyarakat Kolonodale tidak akan pernah terjadi. Tetapi seandainya hal itu terjadi, mungkin belum untuk saat ini, 1 tahun kedepan, 5 tahun kedepan, 10 tahun kedepan, bahkan mungkin anak cucu kita yang akan mengalami dampak besar dari kegiatan penambangan tersebut, maka terkutuklah mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan untuk beroperasinya perusahaan pertambangan tersebut.